Pamekasan, Halloberita – Vonis ringan terhadap AZ, tenaga kesehatan RSUD Mohammad Noer yang terseret skandal perzinahan di ruang pelayanan, bukan hanya mencoreng nama rumah sakit, Jum’at (12/12/2025).
Kasus ini justru membuka persoalan yang jauh lebih besar: lemahnya sistem pengawasan di fasilitas kesehatan publik dan mandeknya mekanisme penindakan terhadap ASN/PPPK yang melanggar etika berat.
AZ divonis 2 bulan 15 hari penjara oleh PN Pamekasan dalam sidang pada 17 November 2025, berdasarkan perkara nomor 184/Pid.B/2025/PN Pmk. Putusan didukung alat bukti rekaman CCTV dan hasil pemeriksaan medis. Meski terbukti bersalah, konsekuensi administratif terhadap pelaku justru berjalan tersendat.
Di lingkungan internal RSUD Mohammad Noer, berbagai catatan mulai terungkap. Sumber internal menyebut tindakan asusila itu terjadi di Poli Anak, dan diduga bukan insiden tunggal. “Sudah pernah terjadi beberapa kali. Bahkan korbannya tenaga magang,” ungkap seorang pegawai yang mengetahui detail kasus tersebut.
Sumber yang sama menghubungkan keberanian pelaku dengan dugaan adanya pelindung dari kalangan internal. Dugaan ini semakin menguatkan kritik bahwa pengawasan di rumah sakit plat merah itu lemah dan bersifat permisif.
Direktur RSUD Mohammad Noer, dr. Nono Ifantono, mengakui pihaknya telah mengambil langkah cepat sejak kasus mencuat pada Juli. Kedua pelaku dipanggil, disidang Komite Keperawatan, dan diberi sanksi. AZ langsung dilarang masuk rumah sakit, sementara pasangan perempuannya diberhentikan karena berstatus PTT.
Namun langkah RSUD mentok ketika kasus menyentuh ranah kepegawaian provinsi. Status AZ sebagai PPPK Provinsi membuat rumah sakit tidak punya kewenangan pemecatan. Surat RSUD ke BKD Jawa Timur pun berakhir tanpa tindak lanjut, karena aturan ASN mengharuskan vonis minimal 2 tahun untuk dapat diberhentikan. Putusan pengadilan yang ringan membuat proses disiplin kepegawaian terhenti.
Kondisi ini memicu keprihatinan banyak pihak. Vonis ringan dan mentoknya mekanisme pemberhentian dinilai menciptakan preseden buruk: pelanggaran berat di fasilitas publik dapat lolos dari sanksi tegas hanya karena terbentur aturan teknis.
Sejumlah pegawai menyebut sistem pengawasan di lingkungan RSUD Mohammad Noer perlu evaluasi menyeluruh—mulai dari SOP pengamanan ruang layanan hingga kemungkinan adanya struktur internal yang memberikan perlindungan terhadap pelaku. “Kalau sistemnya benar, kejadian seperti ini tidak mungkin berulang,” tegas sumber internal.
Kasus ini tidak hanya soal tindakan pribadi, tetapi memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola pengawasan di sebuah rumah sakit rujukan provinsi. Dengan terbatasnya kewenangan RSUD dan rigidnya aturan ASN, publik kini menunggu apakah Pemprov Jawa Timur akan turun tangan untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang.












