Jakarta, Halloberita.id – Peredaran rokok ilegal di Pulau Madura semakin tak terkendali. Dari ujung timur Kabupaten Sumenep hingga ujung barat Bangkalan, produk tanpa pita cukai beredar luas di pasaran tanpa hambatan berarti. Salah satu merek yang mencolok adalah “Gico”, rokok bodong yang kini menguasai sebagian besar kios dan toko kelontong di Madura.
Rokok ilegal tersebut dijual dengan harga sangat murah, sekitar Rp8.000 per bungkus, sehingga menarik minat pembeli namun menimbulkan kerugian besar bagi negara dan industri legal.
Bahkan, penjualannya kini meluas secara daring (online) melalui platform e-commerce seperti Tokopedia, Blibli, Lazada, Maulagi.id, Store Link, hingga di media sosial Facebook, di mana produk rokok ilegal ditawarkan secara terang-terangan.
Menanggapi fenomena ini, Sulaiman, aktivis Lembaga Pemuda Penggerak Perubahan (LP3) asal Pamekasan yang kini berdomisili di Jakarta, menilai bahwa maraknya peredaran rokok ilegal menunjukkan lemahnya pengawasan di tingkat daerah.
“Menteri Purbaya sudah menegaskan pentingnya pemberantasan rokok ilegal untuk melindungi ekonomi nasional dan menjaga stabilitas fiskal. Tapi di Madura, justru yang kita lihat adalah pembiaran,” ujar Sulaiman kepada Halloberita.id, Kamis (16/10/2025).
Ia menilai komitmen pemerintah pusat harus diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh aparat penegak hukum, terutama di bawah koordinasi Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta Satgas Pemberantasan Rokok Ilegal yang masih beroperasi di wilayah Madura.
“Tidak cukup dengan imbauan. Perlu penindakan konkret di lapangan, termasuk terhadap jaringan produsen besar yang diduga punya pengaruh kuat. Kalau dibiarkan, negara terus dirugikan, dan keadilan ekonomi makin timpang,” tambahnya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kerugian negara akibat rokok ilegal setiap tahun mencapai triliunan rupiah.
Produk tanpa pita cukai sah tidak hanya menggerus penerimaan negara, tetapi juga merusak ekosistem industri rokok legal yang selama ini patuh pada aturan cukai.
Sulaiman menilai fenomena Gico dan sejumlah merek bodong lainnya di Madura adalah bukti konkret bahwa komitmen pemberantasan belum diimplementasikan optimal.
“Satgas Bea Cukai harus berani menelusuri rantai produksi dan distribusi rokok ilegal hingga ke akar. Jangan hanya menindak pedagang kecil di warung, sementara bos besar dibiarkan aman di belakang layar,” tegasnya.
Sulaiman juga mendesak evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat Bea Cukai Madura dan kepolisian setempat, yang dinilai belum mampu menekan peredaran rokok ilegal meski telah mendapat perhatian nasional.
“Kalau misi Pak Menteri Purbaya benar-benar ingin menegakkan integritas fiskal, maka Madura harus jadi prioritas. Jangan sampai komitmen di Jakarta berhenti di atas kertas sementara di daerah justru tumbuh industri rokok ilegal baru setiap bulan,” pungkasnya.












